NTT - analisapost.com | "๐๐ง๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐ง๐๐ช๐ข ๐๐ฅ๐ฅ๐ค๐ง๐ฉ๐ช๐ฃ๐ ๐๐ข๐ฅ๐ค๐ง๐ฉ๐ช๐ฃ๐" (๐๐ฏ ๐๐ฆ๐ฎ๐ฐ๐ณ๐ช๐ข๐ฎ ๐ ๐ข๐ฏ๐จ ๐๐ถ๐ญ๐ช๐ข ๐๐ด๐ฌ๐ถ๐ฑ ๐๐ฆ๐ถ๐ด๐ฌ๐ถ๐ฑ๐ข๐ฏ ๐๐จ๐ถ๐ฏ๐จ ๐๐ฏ๐ฅ๐ฆ ๐๐จ๐ณ. ๐๐ช๐ฏ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ต๐ช๐ถ๐ด ๐๐ฆ๐ฏ๐ด๐ช ๐๐ฐ๐ต๐ฐ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข).
"Bagi saya Uskup ini betul-betul sebagai gembala yang baik penuh kebapaan, ungkapnya
Rinto Namang salah satu umat Paroki Mautapaga-Ende Yang Parna Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020) Mengungkapkan ", Ketika mendengar kabar Bapa Uskup Sensi dirawat di RS Sint Carolus-Jakarta, saya berkesempatan untuk menjenguk beliau. Di ruang tunggu kami bertemu dengan Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Ende Romo Yoseph Daslan, kaka Alex Leda dan bung Angelo Wake Kako serta bung Manto Ema. Nama terakhir ini khusus didatangkan dari Ende untuk menjaga Bapa Uskup Sensi selama dirawat di RS Sint Carolus.
Dari balik kaca ruang ICU, Bapa Uskup terbaring, lemah, dan tampak sangat menderita, tetapi memancarkan ketenangan yang dalam. Ruang ICU sangat hening, tetapi ada genting yang timbul dari wajah para pembesuk.
Dari pengakuan para suster dan perawat yang merawat Bapa Uskup Sensi, untuk jenis "penyakit serius" yang dideritai Bapa Uskup Sensi ini, beliau termasuk manusia langka yang bisa melewati situasi tersebut dengan sangat tenang.
Rupanya, pengalaman senada juga diutarakan oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Uskup Agung Mgr. Piero Pioppo yang menjenguk Bapa Uskup Sensi hari kedua setelah beliau dirawat. Dalam pesan singkat Nuntius kepada Kardinal Suharyo, ia menulis: "Saya merasakan Mgr. Sensi sangat lemah dan banyak menderita tetapi wajahnya memancarkan aura kebahagiaan..."
Kebahagiaan dan ketenangan macam apa yang dialami oleh Bapa Uskup Sensi yang sedang sakit ini? Sulit dijelaskan, tetapi hanya mereka yang telah akrab dengan Tuhan yang bisa memandang kematian--seperti Santo Fransiskus dari Asissi--sebagai saudari!
Tanggal 19 November 2023, saya kembali membesuk Bapa Uskup Sensi yang tidak lagi dirawat di ICU tetapi di ruangan Ignasius No 15, kali ini beliau telah "sembuh" selamanya dan dengan tenang berpulang kembali kepada Tuhan.
Bersama dengan para suster, perawat, ponakan Bapa Uskup dan satu dua orang Ende yang hadir, kami mendaraskan Rosario. Wajah mendiang Bapa Uskup Sensi sangat damai dan tenang, sama sekali tidak menampakkan rasa sakit serius sebagaimana senyatanya.
๐๐๐ง๐ฉ๐๐ ๐๐ฃ๐ก๐๐ ๐๐๐ง๐ข๐๐ฃ....
Bapa Uskup Sensi, sebagaimana motto tahbisan episkopalnya "Praedica Verbum Opportune Importune" (Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran; 2 Timotius 4:2), adalah pribadi yang walk the talk.
Ia adalah pribadi yang melaksanakan apa yang diucapkannya, lebih tepatnya apa yang Kristus kehendaki untuk dilaksanakan oleh sang Gembala kita ini. Hidupnya adalah karya pewartaan iman kepada para domba dalam segala situasi termasuk dalam keadaan sakit.
Sebagaimana dikisahkan oleh seorang ponakan beliau, Gusti Poto, yang hadir ketika Bapa Uskup menghembuskan nafas terakhir: "Bapa tua masih mendaraskan do'a Angelus pukul 18.00 WIB bersama kami, tangannya masih menggenggam Rosario." 21 menit kemudian, pukul 18.21 WIB tanggal 19 November 2023, Bapa Uskup Sensi menyatu dengan keabadian.
Sekalipun dalam penderitaan yang teramat sangat ini, Bapa Uskup Sensi sama sekali tidak memperlihatkan raut wajah penderitaan dan bersungut-sungut. Ia melewati semua penderitaan dengan penuh iman sebagaimana Rasul Paulus yang memandang penderitaan sebagai penggenapan kemuliaan di dalam Kristus.
Bagi Bapa Uskup Sensi sakit dan mati adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman pewartaan iman. Maka, "wafat", meminjam istilah Kardinal Suharyo, "adalah berpulang bukan meninggal."
Berpulang sebagai gerak aktif kesadaran manusia akan sangkan-paraning dumadi yakni Allah sumber dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju. Kesadaran ini membuat Bapa Uskup Sensi menghadapi saudari kematian dengan suka cita dan damai; kerinduan kawula untuk manunggal dengan Gusti secara total dalam keabadian.
Berpulang adalah kesempatan yang baik untuk "menatap wajah Allah secara langsung", Allah yang Kerahiman-Nya diwartakan oleh Bapa Uskup Sensi selama hidupnya. Maka, penderitaan sakit dan wafat tidak menjadi halangan untuk takut justru sebaliknya--mengutip pemikiran filosof Jerman Friedrich Nietzsche--membuat seseorang semakin mendalam dalam melihat kehidupan, bagaikan dilahirkan kembali dengan kulit baru yang lebih peka.
๐๐๐๐๐ก๐๐ฃ๐๐๐ฃ ๐๐๐ข๐๐๐ก๐....
Saya kagum pada sosok Bapa Uskup Sensi. Ia pribadi yang kharismatik, penuh wibawa sebagai seorang Gembala. Saya suka cara beliau menyampaikan homili. Homilinya bernas penuh wibawa karena selalu merujuk pada Sabda Yesus dalam Injil sebagai sumber otoritatif; dan tajam tetapi tanpa menyakiti rasa perasaan umatnya.
Ketika mendengar homili Bapa Uskup Sensi, kita tidak sedang mendengar retorika seorang Uskup tetapi melihat dengan jernih wajah Yesus dalam keseluruhan isi homili tersebut. Homili adalah jalan pewartaan agar kita tiba pada Yesus bukan hal melucu atau ikhwal mempersoalkan tradisi dan ritus kelompok lain.
Dengan rendah hati beliau katakan, "izinkan saya menawarkan satu-dua pemikiran...." Saya temukan gaya ini juga pada diri Kardinal Suharyo. Betapa rendah hati para Gembala kita ini padahal mereka adalah wakil Kristus di dunia ini. Ini suatu kesadaran bahwa Bapa Uskup juga adalah seorang manusia yang ada batas.
Momen berpulangnya Bapa Uskup Sensi adalah suatu kehilangan besar bagi kita baik sebagai umat Keuskupan Agung Ende maupun sebagai bagian dari masyarakat kota/kabupaten Ende.
Kita kehilangan sosok Gembala yang memberikan arahan dan tuntunan moral-spiritual sebagai koridor untuk melangkah tetapi juga ajaran-ajarannya menginspirasi dalam hal moral-politik yang bercorak Kristiani dan memihak kepada kemanusiaan terutama option for the poorest.
Di tengah situasi politik yang minus etika kepemimpinan dalam urusan publik, rasa-rasanya kita sungguh-sungguh kehilangan sosok gembala moral. Tentu saja ini bukan berarti para pemimpin kita tidak bermoral, sebaliknya momen berpulangnya Bapa Uskup Sensi ini harus menjadi kesempatan untuk kembali merenungkan apa-apa yang perlu kita benahi.
Tentu saja orang bisa berbeda pandangan dengan seruan moral-politik Bapa Uskup Sensi, tetapi itulah tugas kegembalaan yang diemban oleh beliau untuk senantiasa mewartakan firman baik atau tidak baik waktunya, menegor dan memberi nasihat kepada para dombanya.
Kata Romo John Podhi ketika kami ngobrol sesaat setelah jenazah Bapa Uskup Sensi tiba di Katedral Jakarta: "Bapa Uskup mmempunyai visi jauh ke depan untuk umat dan itu memang sulit dipahami oleh mereka yang terbatas jarak pandang."
Satu keteladanan yang bisa menjadi pegangan kita selama sede vacante (kekosongan tahta) di Keuskupan Agung Ende adalah keteladanan kasih yang selalu Bapa Uskup Sensi gelorakan selama hidupnya. Pemimpin adalah manifestasi kasih yang memihak kepada manusia terutama mereka yang paling miskin dan terpinggirkan.
Kepemimpinan politik tanpa kasih hanyalah jalan ninja untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan secara membabi buta. Kepemimpinan spiritual tanpa kasih yang memancarkan peristiwa Yesus adalah bentuk lain dari narsisme yang egois.
Bapa Uskup Sensi telah memperlihatkan keteladanan kasih. Banyak orang mengantar kepergian beliau mulai dari Jakarta, Kupang, dan lautan manusia menyambutnya di tanah kelahirannya di Ende. Inilah ekspresi cinta orang-orang yang dikasihi.
"Jika cinta datang dari kedalaman jiwa, maka orang tuli pun dapat mendengarkan."
Selamat jalan kekasih kami ,"Yang Mulia Bapa Uskup Keuskupan Agung Ende
Mgr. Vincentius Sensi Potokota. ,(Jemsnere)
Dapatkan berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari dan ikuti berita terbaru analisapost.com di Google News klik link ini jangan lupa di follow.
Comments