Ketika jiwaragamu tidak lagi di alam fana,
kami mengabadikan doa dari kesucian ramadan,
dengan linangan airmata menembus batas takdir yang kuasa
selamat berteduh bersama nanggala empat kosong dua
di kemaritiman nirwana
Kedalaman celukan bawang bukanlah ranahmu yang kekal
namun kelemahlembutan karang
kekuatan arus yang menawarkan tempat kalian berpulang
laksana batinku membawa arwahmu ke taman yang lebih nyaman
dikafani dan dikifayahkan dalam bumi kalibata,
sehingga kami mudah menghirup aroma bunga bangsa
dan berziarah kapan saja
bukan hanya setelah usai berbuka puasa
Bukankah kalian tidak impikan banyuwangi yang terakhir
menjadi saksi tangan melambai
dan sanak saudara masih mengharap hangatnya pelukan
seragam yang basah bercampur debu pantai
bukankah kalian inginkan jemputan di teluk bali,
menyerahkan rekaman gelombang kepada para pawang
setelah marina menyelam kedalaman hati pertiwi
mencari pengintai bunda tersayang
yang ingin mencuri pusaka para pejuang
dan menantang merah putih setiap musim dan cuaca
Lima puluh tiga pengabdi sejati,
warisanmu bukan kepingan dan cairan dari kapal
serta takbir yang sayub ditengah malam,
bukan hanya sujutmu di sajadah mengharap rakhmarNya kepada kami yang kau tinggalkan
bukan tabung terpedo yang ikut bertasbih manyambut sahur malam lailatul kadar
kepada komandan heri, kolonel setyawan, satria irfan suri,
warisanmu termasuk lautan keimanan yang sering kami dangkalkan
ketika ketinggian tauhid tidak kita lupakan
penerus laksamana tun sri lanang bendahara penakluk selat malaka,
dan panglima armada sriwijaja,
tetap hidup sepanjang masa.
(Saifuddin Saleh/Dhien Faro Pasa, Banda Aceh, 25 April 2021)
Comments