SIDOARJO - analisapost.com | Dusun Bokong Duwur dan Dusun Bokongngisor, dua dusun di Desa Klantingsari, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, menyimpan cerita menarik di balik nama unik mereka.
Nama ini sering mengundang tawa bagi orang yang baru mendengarnya, sebab dalam Bahasa Indonesia, "bokong" berarti pantat, sementara "duwur" dan "ngisor" dalam Bahasa Jawa berarti "atas" dan "bawah".
Meski terdengar unik, warga kedua dusun ini tidak merasa malu. Justru, mereka bangga memiliki nama dusun yang berbeda dan khas.
Menurut Abdul Rohman, Kepala Dusun Bokong Duwur, penamaan kedua dusun yang dihuni sekitar 5.000 warga tersebut erat kaitannya dengan keberadaan Sungai Bokong yang membelah wilayah mereka.
"Dahulu, mayoritas penduduk adalah petani yang harus menyeberangi sungai untuk pergi ke sawah. Tradisi ini membuat mereka harus mengangkat kain jarik atau sarung agar tidak basah," ujarnya.
"Di Dusun Bokong Duwur, kain biasanya diangkat lebih tinggi karena sungai di sana lebih dalam. Sedangkan di Dusun Bokongngisor, kain hanya diangkat sampai setengah karena sungainya lebih dangkal," cerita Abdul Rohman kepada awak media AnalisaPost.
Selain cerita nama dusun, wilayah ini juga memiliki misteri sejarah. Di Dusun Bokongngisor, tepatnya di sebuah perdukuhan bernama Telogo, ditemukan banyak tumpukan bata merah berukuran besar. Abdul Rohman menduga, lokasi ini kemungkinan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit.
"Di sana ada banyak tumpukan bata merah dengan ukuran besar. Sampai sekarang belum ada peneliti yang datang untuk meneliti lebih lanjut," katanya.
Meski memiliki cerita lisan yang kuat, Abdul Rohman mengakui bahwa belum ada sumber literasi resmi yang mengabadikan sejarah penamaan dusun tersebut. Ia berharap suatu saat ada dokumentasi yang dapat dijadikan referensi untuk generasi mendatang agar mereka memahami akar sejarah desanya.
Cerita lain yang berkembang menyebutkan bahwa asal usul nama dusun dari seorang "Ngibule atau Bule" (orang asing) sering mandi di telaga yang airnya sedikit.
"Saat bule itu mandi, air telaga tersumbat karena pantat bule tersebut. Akhirnya, aliran air terbagi menjadi dua, atas dan bawah. Dari situlah nama Bokong Duwur dan Bokongngisor mulai digunakan oleh warga," ungkap Jaelani, mantan perangkat desa Dusun Bokongngisor.
"Nama ini bukan hanya unik, tapi juga bagian dari identitas kami. Semoga anak cucu nanti tahu asal-usul nama dusun ini dengan jelas. Berharap suatu saat ada upaya untuk mengabadikan cerita ini secara tertulis agar dapat menjadi referensi bagi generasi mendatang," harapnya.
Teguh, salah satu warga Dusun Bokongngisor, memiliki pengalaman lucu terkait nama tempat tinggalnya. Ia pun membagikan kisahnya kepada awak media AnalisaPost.
"Dulu, waktu saya bekerja di Surabaya, saya pernah kena tilang di daerah Gedangan. Saat menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), polisi justru terlihat kaget dan heran dengan nama Dusun Bokongngisor. ‘Tenan ta (benarkah) nama ini ada?’ tanya polisi itu dengan raut bingung," ujar Teguh sambil menirukan gaya sang polisi, diiringi tawa.
"Ya, itu nama dusun kami," jawab saya waktu itu. Polisi sempat kebingungan. Karena banyak yang tidak percaya bahkan ada yang marah, mengira saya bercanda, akhirnya banyak warga yang memilih menulis alamat mereka sebagai Desa Klantingsari tanpa mencantumkan nama Dusun Bokong Duwur atau Bokongngisor. Tapi seiring waktu, saya kini bangga menyebut nama dusun kami," tambah Teguh, mengakhiri obrolan sore itu.
Dari cerita ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Dusun Bokong Duwur dan Bokongngisor bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan tradisi, geografi, dan keunikan budaya lokal. Nama-nama tersebut adalah warisan yang patut dilestarikan bagi masyarakat Sidoarjo dan Indonesia. (Dna)
Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com
Commenti