top of page
Gambar penulisanalisapost

Ketimpangan Pendapatan Hakim: Mengguncang Harmoni Kehidupan Rumah Tangga

SURABAYA - analisapost.com | Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh fakta bahwa kesejahteraan dan pendapatan para hakim di Indonesia masih jauh dari kata layak. Kondisi ini sudah berlangsung cukup lama, sehingga para hakim di seluruh Indonesia memutuskan untuk mengambil cuti mulai tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024.

Drs. H. Nur Khasan, SH., MH,Hakim Pengadilan Agama Surabaya (Foto: Charles)
Drs. H. Nur Khasan, SH., MH,Hakim Pengadilan Agama Surabaya (Foto: Charles)

Gerakan ini berdampak pada aktivitas di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang terlihat lengang, sementara Pengadilan Agama (PA) tetap melayani masyarakat seperti biasa.


Saat ditemui awak media AnalisaPost, Drs. H. Nur Khasan, SH., MH., salah satu Hakim Pengadilan Agama Surabaya, menyampaikan curhatan hati mengenai masalah kesejahteraan hakim.


"Banyak teman saya tidak bisa mengambil cuti, termasuk yang rumahnya jauh seperti di Makassar. Ada momen di mana mereka ingin bertemu dengan keluarga pada hari besar atau hari raya, tapi cuti mereka sudah habis. Ini hanya salah satu masalah," ujarnya.


"Soal kesejahteraan, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Kalau dibandingkan dengan pejabat dalam negeri, gaji kami hanya seperlima karena kami masih pegawai negeri. Misalnya, gaji saya ini seperti seorang jenderal di TNI, tapi bedanya, kami tidak bisa naik pangkat lagi. Intinya, kami pejabat negara, tapi dengan gaji PNS," jelasnya.


Beliau juga membandingkan gaji hakim di Indonesia dengan pejabat negara lain, terutama Singapura.


"Perbandingan gaji hakim dengan pejabat dalam negeri sangat jauh, apalagi jika dibandingkan dengan Singapura. Di Indonesia, pendapatan kami sekitar 460 juta per tahun, sementara di Singapura bisa mencapai lebih dari satu miliar per tahun." terangnya.


Drs. H. Nur Khasan juga mengungkapkan tantangan lain terkait penugasan hakim yang harus berpindah setiap empat tahun sekali, bahkan pimpinan harus dipindahkan setiap enam bulan.


"Saat saya dipindahkan dari NTT pada tahun 2007, saya hanya menerima kompensasi sebesar 13 juta rupiah, padahal saya harus membawa istri dan anak. Untuk urusan sewa rumah, Alhamdulillah, lima tahun terakhir kami mendapat bantuan dari pemerintah melalui Mahkamah Agung, berupa uang tunai untuk sewa kos." imbuhnya.


"Di Surabaya, saya mendapatkan bantuan dua juta rupiah, tapi setelah dipotong pajak, tinggal sekitar satu juta sembilan ratus rupiah. Dengan kondisi ini, saya hanya bisa menyewa satu kamar dengan kamar mandi dalam, sehingga tidak mungkin mengajak istri dan anak tinggal bersama. Karena itu, istri saya tinggal di Jombang, sementara saya harus pulang setiap hari, dan bantuan dua juta tersebut tidak cukup." ceritanya kepada awak media AnalisaPost.


Masalah kesejahteraan hakim tidak hanya tentang gaji, tetapi juga berdampak pada kehidupan keluarga mereka, karena banyak yang harus berpisah dari istri dan anak.


"Kondisi ini mempengaruhi ketenangan hidup para hakim, karena kita menangani masalah-masalah rumah tangga, tetapi kita sendiri hidup jauh dari keluarga. Kalau seorang hakim tidak kuat, bisa berdampak buruk pada pekerjaannya," lanjut Nur Khasan.


Polemik mengenai kesejahteraan hakim sebenarnya sudah mencuat sejak lama, bahkan sejak tahun 2012 para hakim sudah meminta perbaikan kesejahteraan.


Nur Khasan menilai profesinya ironis lantaran berjibaku dengan permasalahan hukum tapi hak yang didapat justru tak ada fondasi hukumnya. Ia kecewa lantaran negara dinilai tak ambil peran untuk mensejahterakan rakyatnya.


"Kami berharap tuntutan kami dapat dikabulkan, dan mohon doa restunya. Selain itu, Presiden terpilih Prabowo juga sudah mendengar masalah ini," tutupnya. (Che)


Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com


Editor: Dewi

Comments


bottom of page
analisa post 17.50 (0 menit yang lalu) kepada saya