SURABAYA - analisapost.com | Film terbaru Nia Dinata film dokumenter Unearthing Muarajambi Temples, diproduksi oleh Kalyana Shira Foundation bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (kemendikbudristek) menyorot kehidupan warga Desa Muara Jambi, Sumatera yang menjaga situs Candi Muaro Jambi.
Film berdurasi 94 menit ini terinspirasi dari buku Mimpi-mimpi Dari Pulau Emas (Dreams from the Golden Island) yang ditulis oleh Elisabeth Inandiak bersama masyarakat Desa Muaro Jambi.Jumat (24/11/23)
Warga yang mayoritas Muslim, hidup berdampingan dengan Budhis. Mereka dengan senang hati mengantar biksu dan wisatawan budhis untuk melakukan perjalanan spiritual ke Candi Muaro Jambi.
Hal inilah yang membuat Nia Dinata ingin membuat film untuk dibagikan ke masyarakat Dimana film ini menceritakan tentang Kompleks Percandian Muarajambi dan masyarakat di sekitarnya yang memberikan kehidupan pada situs bersejarah, merupakan situs buddhis tertua di Indonesia. Dengan luas mencapai hampir 4.000 hektar, 21 kali lipat lebih luas dari Borobodur, menjadikan Muaro Jambi sebagai situs purbakala terluas se Asia menampilkan perjalanan ekskavasi serta pemugaran situs percandian Muarajambi yang sudah dilakukan sejak tahun 1978.
Awal Pembuatan Film
Teh Nia, apa yang mendorong Teh Nia memutuskan bikin film dokumenter tentang Candi Muaro Jambi, tanya awak media AnalisaPost, Kamis (23/11/23)
Sebenarnya berawal dari teman baik saya Elizabeth Inandiak pernah cerita tentang Muaro Jambi. Lalu dia bikin buku,tapi baru 12 tahun kemudian Elizabeth memberikan bukunya jadi bikin penasaran terus saya datang kesana untuk riset.ceritanya.
Saya juga sempat interview DR.Junus Satrio Atmodjo, Arkeolog yang pertama kali dan membuka jalan ke Candi Muaro Jambi. Dan Dr. Junus bilang, kamu kalau kesana, cari yang namanya Ahok, Brata sama perempuan tomboi dari kecil selalu mengikuti saya, nawari tiker, dan mita tukeran dengan roti dari kota karena mereka enggak pernah makan roti, namanya Aina. Saya benar-benar mendapat cerita luar biasa dari beliau. Dari situ semakin penasaran karena ada suatu kebenaran yang harus diketahui masyarakat.
Alhasil mereka itu terlibat secara tidak langsung serta menumbuhkan kebahagiaan dan toleransi menyadari kalau mereka bukan orang buangan karena nenek moyang mereka terhormat di candi itu.
Lalu bagaimana proses pembuatan film Muarajambi?
Semua langsung klik. Kami datang dan mencari nama-nama yang diberikan. Untuk syutingnya sudah di mulai tahun 2022 bolak balik tiap dua bulan. Mereka bercerita, mereka muslim dan sementara sopir-sopir bentor yang sering mengantar tamu-tamu dari Thailand, India, Nepal yang kebanyakan negara-negara budhis. Justru mereka menjadi narasumber dan karakter-karakter film ini.
Bagaimana proses distribusi film dan animo mereka?
Tiap daerah mereka seru. Film ini sudah di tayangkan di Jakarta, Magelang-Borobudur, Ubud, Jogja, Jambi, Dusun Muaro Jambi, Malang, dan Surabaya. Setelah dari Surabaya, kita mau ke Semarang dan Ini juga ada permintaan dari Palembang.
Cuma film dokumenter itu kan butuh banyak dana. Jadi memang membutuhkan orang-orang kayak buddhis assosiation, membutuhkan orang-orang yang terpanggil untuk kegiatan ini sebab kalau saya melakukannya sendiri pastinya tidak mungkin.
Intinya saya sangat terbuka untuk kerjasama bikin nobar (nonton bareng) dengan media, komunitas agama, komunitas budaya sehingga banyak masyarakat yang bisa menonton agar mereka tahu seperti yang dilakukan Young Buddhist Association Indonesia bersama Vihara Buddhayana Dharmawira Center, Wanita Buddhis Theravada Indonesia (Wandani) Jawa Timur, Wanita Buddhis Indonesia (WBI) Jawa Timur, Unit Kegiatan Kerohanian Buddha Universitas Ciputra, Universitas Surabaya (UNESA), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Widya Kartika (UWK), Tim Pembina Kerohanian Buddha Institut Teknologi Sepuluh November(ITS), iSTTS, Mitra Uttama, Jaringan Gusdurian Jawa Timur, Roemah Bhinneka, Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jawa Timur.
Harapnnya tiap bulan ada yang mengundang sehingga kami bisa road show di daerah-daerah yang belum bisa menonton.
Pesan Moralnya Seperti apa?
Tergantung masing-masing penonton nya. Karena saya tidak mau pesan moral yang terlalu banyak tapi saya rasa seperti taglinenya menelisik sejarah, merajut toleransi. Jadi saya ingin orang Indonesia ngak males baca sejarah, ngak males menonton tentang sejarah dan terus harus merajut toleransi.
Suport Media bagaimana?
Nah harusnya teman-teman wartawan dari seluruh Indonesia di undang saat pemutaran film ini. Tujuannya agar teman-teman wartawan bisa menuliskan tentang peninggalan sejarah yang mampu memberikan inspirasi bagi setiap orang sekaligus memberikan dampak yang luas. (Dna/Che)
Dapatkan berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari dan ikuti berita terbaru analisapost.com di Google News klik link ini jangan lupa di follow.