SURABAYA - analisapost.com | Industri hiburan di Indonesia baru-baru ini digemparkan oleh kontroversi yang melibatkan Abidzar Al Ghifari, pemeran utama dalam film "A Business Proposal" versi Indonesia. Sejak penayangan pertamanya pada 6 Februari 2025, film yang diproduksi Falcon Picture ini sepi penonton.

Kontroversi ini bermula dari pernyataan Abidzar yang mengungkapkan bahwa ia tidak membaca Webtoon maupun menonton versi asli drama Korea dari karya tersebut. Ia menyatakan ingin menciptakan interpretasi karakternya sendiri.
Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dari netizen, yang berdampak pada penerimaan film secara keseluruhan. Akibatnya, rating film ini di IMDb (Internet Movie Database) merosot tajam hingga mencapai skor 1/10, dan penayangannya pun ditarik dari beberapa bioskop.
Fenomena ini mencerminkan respons masyarakat terhadap figur publik yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi yang sering disebut sebagai Cancel Culture.
Menurut Dosen English for Creative Industry dari Petra Christian University (PCU), Meilinda, S.S., M.A. cancel culture merupakan fenomena di mana seseorang dihapus atau disingkirkan dari pekerjaannya akibat tindakan atau pernyataannya yang kontroversial.
Melinda juga mengatakan bahwa kasus Abidzar Al Ghifari menjadi bukti bahwa dampak cancel culture tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh seluruh tim produksi film.
"Selain ranting yang merosot, pendapatan film pun ikut merosot terdampak karena turunnya minat penonton," terangnya, Senin (17/2/25)
Dalam dunia perfilman, citra seorang aktor memegang peranan penting dalam menentukan kesuksesan film di pasaran. Meilinda menjelaskan bahwa reputasi buruk seorang aktor dapat berdampak negatif terhadap penerimaan film secara keseluruhan pada penerimaan film di masyarakat.
Hal ini menjadi pertimbangan bagi produser dalam memilih pemeran yang tidak hanya berbakat, tapi juga memiliki citra yang baik.
Selain itu, pemilihan aktor yang memahami karakter yang diperankannya menjadi salah satu faktor kunci dalam keberhasilan adaptasi film.

“Jika sebuah film ingin tetap mempertahankan esensi versi aslinya, maka aktor harus melakukan riset mendalam terhadap karakter yang mereka perankan,” jelasnya.
Menurutnya, diskusi ini penting agar adaptasi tetap relevan dan terjaga kesinambungannya dengan karya asli.
Lebih lanjut, Meilinda menyoroti bahwa cancel culture bisa menciptakan ekosistem digital yang semakin sempit bagi diskusi dan klarifikasi.
"Jika terus berlanjut, fenomena ini bisa membentuk ekosistem digital di mana masyarakat semakin enggan mendengar perspektif lain. Segala bentuk pandangan atau nilai yang bertentangan dengan keyakinan individu atau kelompok tertentu bisa dienyahkan tanpa ada upaya memahami atau mencari titik tengah,” ungkap Meilinda, yang memiliki spesialisasi dalam bidang teater.
Ia menjelaskan bahwa sebagai figur publik, aktor memiliki tanggung jawab atas perkataan dan tindakannya. Kasus A Business Proposal versi Indonesia menjadi bukti nyata bahwa kontroversi seorang aktor dapat berdampak besar terhadap penerimaan film di masyarakat.
Hal ini menjadi pengingat bagi para aktor dan sineas bahwa menjaga citra dan komunikasi dengan publik adalah hal yang sangat penting dalam industri hiburan. Karena ketika seorang aktor mengalami cancel culture, dampaknya juga dirasakan oleh seluruh tim produksi.
"Apa yang dilakukan aktor akan disorot dan menjadi dasar penilaian karakter pribadinya. Dalam kasus ini, pernyataan Abidzar dianggap arogan, sesuatu yang kurang dapat diterima dalam budaya Indonesia, di mana figur publik diharapkan bersikap rendah hati agar tetap diterima masyarakat," jelas Meilinda.
Sikap Abidzar yang tidak merujuk pada karakter versi asli memicu perdebatan tentang strategi adaptasi dalam produksi film.
"Jika sutradara ingin membuat adaptasi yang tetap setia pada versi aslinya, aktor perlu mempelajari dan berdiskusi mengenai karya tersebut. Diskusi dengan sutradara penting untuk menentukan elemen yang dipertahankan, diubah, atau ditonjolkan, sehingga adaptasi tetap relevan dan berkesinambungan dengan karya aslinya," tutur Meilinda.
Namun, Meilinda juga menyatakan bahwa interpretasi baru dapat menjadi pendekatan yang sah selama sesuai dengan visi produksi. Ia menekankan bahwa pemilihan aktor yang tepat sangat menentukan kesuksesan sebuah film.
"Aktor memegang peran krusial karena mereka adalah wajah dan jiwa cerita. Mereka harus mampu menghidupkan karakter melalui ekspresi, emosi, dan gestur yang tepat agar penonton dapat memahami perjalanan emosional karakter tersebut," ujarnya.
Selain kemampuan akting, citra publik seorang aktor juga mempengaruhi penerimaan film di pasaran. "Kontroversi atau reputasi buruk seorang aktor dapat berdampak negatif pada penerimaan film. Hal ini menjadi pertimbangan bagi produser dalam memilih pemeran yang tidak hanya berbakat, tetapi juga memiliki citra positif," tambah Meilinda.
Meilinda menegaskan pentingnya pemahaman karakter dalam setiap produksi film, terutama pada karya adaptasi.
"Jika adaptasi masih terhubung dengan sumber aslinya, memahami versi asli membantu mempertahankan esensi karakter. Namun, jika ingin menghadirkan interpretasi baru, fleksibilitas dalam membangun karakter menjadi lebih penting dibandingkan keterikatan pada referensi lama. Konsep adaptasi harus dipilih dengan bijak agar tetap menarik tanpa kehilangan esensinya," tegasnya.
Fenomena ini menjadi pelajaran bagi aktor dan produser untuk lebih bijak dalam menjaga citra, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Opini publik yang berkembang dengan cepat dapat memengaruhi citra individu dan kesuksesan sebuah karya. (Dna)
Dapatkan update berita pilihan serta informasi menarik lainnya setiap hari di analisapost.com
Comments