MEI 2005
Sepasang camar terbang memberi nuansa indah pada senja Losari yang kemilau. Camar itu hadir untukku. Setia datang memberi kabar di ujung Selat Sulawesi sana, juga terbentang langit senja yang kemilaunya tak kalah indah dengan Losari yang kini kutatap. Langit senja yang tak bertiang kokoh memayungi Losari yang sesekali menderaikan tawa. Langit itu miliku Selalu hadir menjadi metafora penantianku.Ya, aku harus sekokoh langit . Tak boleh runtuh ! karena ku yakin di ujung Selat Sulawesi sana, Imran ikut mengokohkan setia untukku. Penantian itu indah meski tak bernilai seni. Tak ada yang lebih indah dari penantian yang terawat setia lalu membawa ceria. Sepasang camar yang terbang beriringan, sesekali bernyanyi. Mungkin untuk menyadarkanku tentang suatu hal, aku pernah bersaksi bahwa indahnya senyum Imran tak ada yang menandinginya. “Itulah yang membuat penantianku indah, Camar!” gumam batinku. Hingga kini senyum itu masih yang terindah. Pertama , karena ada sebentuk lesung pipit yang selalu mengiringinya. Kedua, karena kelopak matanya yang menyipit setiap lesung pipit itu tercipta dan seribu alasan lagi yang membuat dadaku seperti terhimpit jika tak membalas senyumanya, hingga membuatku untuk mencinta lalu setia menanti hingga kini. Padahal indahnya senyum Imran-lah yang seharusnya membuatku tak boleh banyak berharap akan keindahan di balik penantian ini. Jika aku bisa takluk, cewek yang lain pasti akan banyak yang terkapar menerima senyumnya apalagi kini untuk yang pertama kalinya, Imran tak pulang ke Makasar dalam hitungan satu tahun. Mungkinkah karena Nilam? Aku menggeleng. Kurasa tak mungkin, bukankah Nilam kupercaya bukan hanya karena Nilam sahabatku tapi juga kutahu dia adalah milik Farhat. Nilam kupercaya menemani langkah Imran di Jakart. Aku kasihan terlebih prihatin pada Imran yang indeks prestasinya anjlok dan terancam drop out dari kampus. Dalam dua semester awal sebagai mahasiswa baru dia tak mampu mengoleksi nilai kumulatif di atas dua. Masih beruntung kampusnya memperlakukan evaluasi empat semester sehingga dia masih punya kesempatan untuk berubah. Dia bahkan tak berubah saat ku singgung secara halus aku yang kuliah di kedokteran mampu mengoleksi indeks prestasi mendekati empat koma, apalagi dia yang mahasiswa Ekonomi. “Aku nggak bisa berubah, Enny. Hati kecilku tak bisa kubohongi aku selalu merasa harus selalu berada dalam kehidupan masa kecilku. Bersama mama dan adik – adikku.” Aku menghela nafas, saat mendengar pengakuannya setahun lalu. Imran memang anak mami padahal sebagai cowok sulung yang punya adik tiga, harusnya dia lebih dewasa tapi dia tidak ! Ikatan batin dengan mamanya merekat erat. Cintanya pada mamanya sayangnya pada adik – adiknya, membuatnya tak bisa berpisah lama. Harusnya aku kecewa mendengar pengakuannya itu mondar – mandir Jakarta – Makasar bukan terburu rindu padaku tapi pada mamanya. Tapi setiap kecewa itu merisaukanku, sisi lain hatiku malah berbangga. Tak banyak cowok yang bisa seperti Imran jika dia bisa memberi cinta berlebih pada mamanya, mengapa padaku tidak. Aku pacarnya ! aku masih ingat saat masih di SMA dulu, Imran sering di panggil dengan pangilan anak mami. Bukanya malu, malah bangga . Belum lagi dia tak seperti remaja kebanyakan yang sering nongkrong di rumah teman dan lupa pulang. Imran akan selalu hadir dan mengetuk pintu rumahnya untuk pulang tidur meski harus pulang dini hari karena keasyikan nongkrong. Awalnya kupikir itu suatu keanehan tapi saat mencintainya kurasakan ada rasa lainpada cinta yang Imran berikan padaku, cinta yang tulus! Dan salahkah bila aku mempertahankan setia untuknya? Hingga kini aku bukan tak curiga, juga bukan tak kawatir. Seribu satu cerita cinta yang pernah ada di muka bumi ini dan lebih dari separuhnya berakhir luka setelah membiarkan diri setia. Tapi cinta telah menghapus semua kekawatiran itu. Yang bisa ku perbuat hanyalah memberi amanah pada Nilam dan Farhat yang kebetulan satu falkutas denganya. Nilam dan Farhat itulah yang selama ini ku sebut sepasang camar utusan. Aku yang mengutusnya untuk menjaga Imran .
CAMAR YANG PULANG
Losari senja masih terlampau indah tapi sepasang camar yang kunanti sore ini pulang mengecewakan. Harusnya camar itu datang sejak aktraksi matahari senja bermula tapi kini lain, camar itu datang saat gelap mulai merambat terlebih datang tak sepasang, tapi terbang sendiri seolah membawa berita melukakan untukku.“Aku dari rumah mencarimu,” Farhat berdiri tepat di belakangku. “Nilam mana ?” kataku saat satu sisi hatiku berfirasat sesuatu telah terjadi pada Nilam. “Harusnya kamu mencari Imran. Bukan Nilam!” Aku merasa semakin ada yang tak beres. “Ya ,Imran mana?“ Farhat tersenyum. Jelas kulihat jika senyum itu diusahakannya semanis mungkin. Sayang sekali, sejak aku melihat senyum Imran tak ada lagi keindahan yang melebihinya. Losari sekalipun ! Tuturnya lalu diatur sesantun mungkin meski dari bibir itu kemudian mengalir cerita yang memilukan. Aku berharap semuanya bohong tentang Nilam dan Imran yang kedekatanya semakin tak wajar. Juga tentang Imran yang kebetahanya bertahan di Jakarta bukan semata karena telah mampu membendung rindunya pada mamanya tapi juga karena ada Nilam yang di sampingnya. Aku menggeleng tapi Farhat tak juga berhenti bertutur. “Aku yakin kamu terluka, mempertahankan kesetiaan dalam penantian panjang. Tapi pernahkah kamu bayangkan bagaimana terlukanya aku. Nilam dan Imran melakukannya di depan mataku.” Aku tertunduk dan menatap ke dua kakiku yang dari tadi kubiarkan basah oleh deru ombak yang menepi. “Maaf ! Aku harus pulang,” ucapku saat tutur Farhat mulai mengajakku bermain api. Tidak akan ku lakukan. Hampir tiap sore aku ke Losari, menyaksikan sepasang camar yang pulang. Sepasang camar itu selalu kubayangkan sebagai Farhat dan Nilam yang akan terbang pulang membawa kabar bahagia untukku tentang Imran. Jadi sangatlah mustahil aku terbujuk untuk mencintai Farhat mungkin benar Imran telah menghianatiku, tapi kupikir salah melarikan cintaku pada Farhat. “Aku bukan meracuni pikiranmu. Tapi aku juga tak butuh madu darimu.”Aku harus pulang.
CAMAR YANG TERLUKA
Kuliah di kedokteran, semakin kurasakan menyita semua waktuku. Harusnya liburan semester ini menjadi jeda untuk ku jadikan waktu istirahat. Tapi jeda telah menjadi waktu untuk melakukan apa saja bukan untuk istirahat. Seperti saat ini aku harus menyelesaikan tugas – tugas praktikum. Ini adalah resiko, jika semester – semester awal seperti ini yang praktikumnya baru sekedar lab Biologi dan Fisika, aku sudah malas – malasan, bagaimana jika sudah harus masuk Anatomi. “Apa begini cara calon dokter menunggu pacarnya pulang?” Aku menghadap ke pintu kamar kostku di sana Imran berdiri dengan tatapan yang masih sibuk terbang ke penjuru kamar dan lembaran – lembaran kertas yang baru saja kuasistensi di kampus. Imran pulang? Dia mencariku? “Nilam mana?” hanya pertanyaan terakhir yang sangup terucap bibirku. Sebelumnya hanya mampu kueja dengan batin. “Kamu mencariku atau Nilam?” “Seperti yang baru saja kutanyakan,” kataku sinis. “Aku pulang bareng Nilam Aku pulang untukmu dan Nilam telah memilih terluka untuk kita” begitu kata Imran memulai kalimatnya. Kalimat selanjutnya jadi bertolak belakng dengan apa yang pernah diceritakan Farhat padaku “Farhat menjadilkan alasan kedekatan kami untuk putus. Aku juga kaget saat kutahu Nilam hadir untuk menemaniku atas suruhanmu. Aku telah berusaha untuk menyatukan mereka kembali, tapi mereka memang harus terluka.” Terluka ? Sedikit pun tak kudapatkan gurat luka itu pada Farhat. Bahkan dengan santainya mengajakku bermain api. Sayang sekali setelah berkali – kali kesetiaanku teruji, tak pernah sekalipun aku mencoba untuk berpaling. Meski harus menangis rindu yang menggunung adalah ujian yang paling berat ku tempuh selama ini, tapi aku selalu menyisakan semangat untuk Imran. Semangat buat terus mencintainya dan semangat itulah yang mengijinkanku tetap memiliki Imran, sehingga kini. “Aku nggak dipersilahkan masuk?” Aku malu sendiri saat kudapatkan diriku masih dalam tunduk. Harusnya aku sudah berada dalam pelukannya sejak dia datang tadi. Tapi mengapa aku belum bergerak juga? “Jika belum dipersilahkan masuk, aku pulang dulu di rumah ada mama yang menunggu.” Dasar anak mami ! baru saja aku hendak melangkah, dia telah berbalik dan pulang menemui mamanya. Aku membiarkan dia melakukan itu, karena ada sesuat yang urgen kukerjakan sekarang, bukan sebagai mahasiswi kedokteran tapi sebagai seorang sahabat.
Kisah ini ku buat agar kamu menyadari betapa besar cintaku padamu……(Bersambung)
Comentarios