Bojonegoro, Analisa Post | Anomali cuaca antara suhu panas tinggi dan intensitas curah hujan memang cukup meresahkan Petani Tembakau yang ada di wilayah Kabupaten Bojonegoro.
Ancaman peluang rusak dan mati itu jelas di rasakan para petani tembakau.
Terpuruknya nasib Petani Tembakau ini terjadi sejak musim tanam hingga musim panen , meski demikian para Petani Tembakau banyak yang mengalami kerugian besar, tetapi faktanya mereka tetap memilih komoditas ini.
Seperti yang tampak dilakukan oleh ibu Tutiani dari Desa Cengkir Kecamatan Kepohbaru Kabupaten Bojonegro , meski status ibu Tutiani adalah seorang janda ia terlihat mengerjakan secara sendiri. Ini terlihat merajang tembakau dengan penuh semangat , ia tak peduli meski harga tembakau anjlok karena Anomali cuaca dan intensitas hujan tinggi sehingga mempengaruhi kualitas tembakau dari mulai bobot ( rendeman) dan warna tembakau rusak karena panasnya kurang sehingga tembakau yang sudah di rajang kesulitan mengeringkan akibatnya warnanya tidak bagus ( banteng) sehingga harganya turun , yang seharusnya harga perkilo nya Rp 25000 sampai Rp 21000 menjadi Rp 15000 sampai Rp 10000.
Petani Tembakau sebagai produsen yang tidak punya nilai tawar ketika menjual hasil panen tembakaunya, hal ini akibat dari tata niaga tembakau di Indonesia yang bersifat oligopsoni artinya produsen daun Tembakau ratusan ribu akan tetapi pasarnya hanya pabrik rokok besar itupun jumlahnya sedikit.
Akibatnya harga yang menentukan adalah Pabrik Rokok , lebih parah lagi Pabrik Rokok tidak melakukan pembelian secara langsung ke petani.
mekanisme pemasaranya harus melalui Pedagang Besar, Rayon, Pengolah bahkan pengepul baru ke Petani, sudah barang tentu setiap pelaku mengambill margin ( keuntungan) masing - masing .
Belum lagi kebijakan import tembakau yang membuat para Petani Tembakau kelimpungan, tentu saja hal ini membuat serapan tembakau Petani semakin rendah.
Karena Pabrik Rokok besar lebih memilih produk import dengan alasan harga tembakau lebih murah dan lebih ber kualitas.(Tom)
Comments